RUMUSAN HUKUM KAMAR AGAMA TAHUN 2018 (SEMA NOMOR 3 TAHUN 2018)
Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung pacla tanggal 1-3 November 2018 di Hotel Intercontinental Bandung, telah menghasilkan rumusan hukum sebagai berikut:
1. Hukum Keluarga
a. Perceraian dengan alasan pecah perkawinan (broken marriage) Menyempurnakan rumusan Kamar Agama dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2014 angka 4 sehingga berbunyi: “Hakim hendaknya mempertimbangkan secara cukup dan seksama dalam mengadili perkara perceraian, karena perceraian itu akan mengakhiri lembaga perkawinan yang bersifat sakral, mengubah status hukum dari halal menjadi haram, berdampak luas bagi struktur masyarakat clan menyangkut pertanggungjawaban dunia akhirat, oleh karena itu perceraian hanya dapat dikabulkan jika perkawinan sudah pecah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata telah terbukti.”
b. Nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak Menyempurnakan rumusan Kamar Agama dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2012 angka 16 sehingga berbunyi:
“Hakim dalam menetapkan natkah madhiyah, natkah iddah, mut’ah, dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak”.
c. Kewajiban suami akibat perceraian terhadap istri yang tidak nusyuz mengakomodir Perma Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah, dan nafkah ‘iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz.
d. Gugatan yang obyek sengketa masih menjadi jaminan utang Gugatan hartaa bersama yang objek sengketanya masih diagunkan sebagai jaminan utang atau objek tersebut mengandung sengketa kepemilikan akibat transaksi kedua dan seterusnya, maka gugatan atas objek tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
e. Obyek rumah/bangunan yang belum terdaftar.
Gugatan mengenai tanah dan/atau bangunan yang belum bersertifikat yang tidak menguraikan letak, ukuran, dan batas-batasnya harus dinyatakan tidak dapat diterima.
f. Perbedaan data fisik tanah antara gugatan dengan basil pemeriksaan setempat (descente).
Gugatan mengenai tanah dan/atau bangunan yang belum terdaftar yang sudah menguraikan letak, ukuran dan batas-batas, akan tetapi terjadi perbedaan data objek sengketa dalam gugatan dengan basil pemeriksaan setempat (descente), maka yang digunakan adalah data fisik hasil pemeriksaan setempat (descente).
g. Pihak dalam gugatan pembatalan hibah.
Gugatan pembatalan hibah yang tidak digabungkan dengan perkara gugatan waris tidak harus melibatkan seluruh ahli waris sebagai pihak.
h. Permohonan Isbat Nikah poligami atas dasar nikah siri meskipun dengan alasan untuk kepentingan anak harus dinyatakan tidak dapat diterima. Untuk menjamin kepentingan anak dapat diajukan permohonan asal-usul anak.
i. Putusan ultra petita.
Ketentuan SEMA Nomor 03 Tahun 2015 huruf C angka 10 disempurnakan sehingga berbunyi sebagai berikut: Penetapan hak hadhanah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/ permobonan, maka hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut. Penetapan hadhanah dan dwangsom tanpa tuntutan termasuk ultra petita.
2. Hukum Ekonomi Syariah
a. Eksekusi jaminan dalam akad syariah
Perlawanan terhadap eksekusi jaminan berdasarkan akad syariah merupakan kewenangan peradilan agama sesuai dengan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentmg Peradilan Agama.
b. Gugatan pencabutan hibah orang tua kepada anak yang objeknya masih dalam jaminan lembaga keuangan syariah.
Gugatan pencabutan hibah dari orang tua kepada anak yang objek tersebut masih dalam jaminan utang pada lembaga keuangan syariah harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena dapat merugikan pihak ketiga.
3. Hukum Jinayat
a. Dasar penjatuhan hukuman atas jarimah zina
Penjatuhan ‘uqubat hudud atas jarimah zina tidak cukup didasarkan dengan pengakuan semata, melainkan harus dikuatkan dengan sumpah terdakwa, sesuai dengan Pasal 38 Ayat (2) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan harus ada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut bebas, maka hakim dapat memutus menurut bukti clan keyakinannya.
b. Upaya hukum terhadap putusan bebas
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 tanggal 28 Maret 2013 yang menyatakan: “frasa ‘kecuali terhadap putusan bebas’ pada Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” berlaku juga terhadap Putusan bebas berdasarkan Pasal 236 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.